Voa-Khilafah.co.cc - “Khilafah itu pernah ada, tapi kapan runtuhnya? Semua imam mahzab menyatakan mendirikan khilafah itu fardhu kifayah, tapi mengapa Arab kerajaan, Indonesia republik, dan negeri Muslim lainnya pun tidak ada yang menerapkan khilafah?"
Dua pertanyaan itu muncul dibenak, tatkala membaca bab imamah atau bab khilafah ketika aku diamanahi memegang kunci perpustakaan Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, saat aku nyantri di ponpes pimpinan KH Maimun Zubair itu.
Saat itu, saya benar-benar haus ilmu. Maka kulahap kitab-kitab yang ada, bahkan kitab-kitab yang besar pun kubaca. Kemudian aku berpikir, mengapa bab khilafah adanya di kitab-kitab besar, kalau di kitab-kitab kecil jarang sekali? Adanya di kitab Fathul Wahab karya Syeikh Zakaria Al Anshori. Dan itu memang dijelaskan ada.
Di kitab Bisarwani juga ada. Begitu juga dalam kitab Hayatul Hayawan tapi di situ tidak sampai Bani Ustmaniyah, ke Bani Fatimiyah juga tidak sampai, cuma sampai Bani Abasiyah. Dalam kitab bisyarahnya Fathul Wahab seperti Fujairrumi Wahab juga dijelaskan masalah imamah, tetapi sayangnya tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara pengangkatan seorang khalifah dan lain sebagainya?
Itu yang membuat penasaran, ingin mengetahui. Dari buka-buka kitab itu ditambah pengetahuanku ketika di sekolah belajar sejarah Islam itu, di situ khilafah dibahas mulai dari Khulafaur Rasyidin kemudian Bani Umayah dan Bani Abasiyah.
Saya ingin mengetahui sejarah khilafah dan bagaimana hancurnya. Dan bagaimana hubungannya ketika dulu, pada masa Nabi Muhammad SAW, kemudian diganti masa Khulafaurrasyidin, terus Bani Umayah dan Bani Abasiyah.
Lantas ke mana ini khalifah? Sekarang kok tidak ada di dunia Islam. Itulah yang menjadikan saya terus penasaran. Karena apa? Karena khilafah itu yang aku baca di kitab-kitab ketika di pesantren itu, ternyata wajib. Fardhu kifayah ini, semua imam mazhab menyatakan wajib tetapi mengapa sekarang tidak ada? Namun sayang, tidak ada satu pun kyai dan ustadz dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaranku.
Menemukan Jawaban
Tahun 1993, saya kembali ke kampung halaman, menikah dan mengamalkan ilmu yang saya dapat saat nyantri. Rasa penasaranku tidak hilang, namun saya pun bingung harus bertanya pada siapa? Terpaksa saya pendam sendiri.
Suatu hari pada tahun 2002, ketika melintas Jalan Pamager Sari, Sumedang saya benar-benar dikagetkan dengan adanya spanduk yang bertuliskan "syariah" dan "khilafah" membentang di atas jalan.
Nah, penasaranku membuncah kembali. Tapi aku bingung, siapa yang memasang spanduk ini? Satu-satunya indikasi hanya kata "Hizbut Tahrir" berarti yang memasang spanduk ini Hizbut Tahrir? Tapi apa itu Hizbut Tahrir? saya pun penasaran. Namun sayang, setiap orang yang kutemui dan kutanya, tidak ada yang mengenal "Hizbut Tahrir" itu.
Aneh, ada spanduk tetapi tidak ada orangnya. Padahal saya sangat berharap dari Hizbut Tahrir itulah pertanyaanku dapat terjawab. Sejak saat itu, pertanyaan yang menghantui benakku bertambah satu lagi, apa itu Hizbut Tahrir? Tapi lagi-lagi harus saya pendam sendiri karena orang-orang di sekelilingku tidak ada yang dapat memberikan petunjuk.
Sampailah pada suatu saat di tahun 2005, seorang pemuda bernama Acep Muhyiddin bertandang ke rumah saya. Ia menyatakan ingin bersilaturahmi. Namun betapa kagetnya saya ketika dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah aktivis Hizbut Tahrir! Alhamdulillah, betapa senangnya saya.
Saya pun bertanya tentang Hizbut Tahrir dan khilafah. Subhunallah, meski lelaki itu berperawakan kecil, ilmunya sangat besar. Saya pun langsung kagum dengan jawabannya yang begitu gamblang terkait dua pertanyaan besarku itu.
Begitu rinci ia menjelaskan bahwa khilafah itu berdiri selama 13 abad, terhitung sejak Daulah Islam berdiri di Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah, kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasyidin, Bani Umawiyah, Bani Abbasiyah, dan berakhir pada 1924 saat ibukotanya berada di Turki pada masa Bani Utsmaniyah.
Keruntuhan itu terjadi bukan saja lantaran kemunduran kaum Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang mulia tetapi juga lantaran adanya konspirasi keji bangsa kafir penjajah Inggris dan para pengkhianat termasuk Mustafa Kamal Attaturk laknatullah. Sedangkan, Hizbut Tahrir adalah kelompok di antara kaum Muslim yang berjuang untuk mengembalikan tegaknya khilafah itu.
Di kesempatan berikutnya, ia datang kembali membawa kitab yang menjelaskan konspirasi meruntuhkan khilafah yakni kitab Kayfa Hudimat al Khilafah karya Syeikh Abdul Qadim Zallum.
Subhanallah, dari penjelasan sang aktivis dan kitab karya amir kedua Hizbut Tahrir itu terjawab sudah teka teki yang ada di dalam benak saya selama 15 tahun itu. Kemudian saya pun mendapatkan berbagai kitab lainnya yang diterbitkan Hizbut Tahrir. Dari situ, saya yakin tidak ada alasan untuk menolak ajakan Hizbut Tahrir untuk sama-sama berjuang menegakkan syariah dan khilafah.
Berdakwah
Sejak itu, saya sampaikan kepada yang lain yang datang ke Darul Bayan (majelis taklim dan tahfidz Alquran asuhannya—red) bahwa saya punya kitab-kitab Hizbut Tahrir, bila isinya bertentangan dengan kitab-kitab pesantren maka saya orang pertama yang akan menentangnya. Tapi kalau memang cocok dengan kitab yang saya jadikan patokan, ayo sama-sama kita dukung perjuangan Hizbut Tahrir.
Tapi sayang, tidak semua kyai, ustadz dan ajengan yang saya ajak menyambut ajakanku. Hanya sebagian saja di antara mereka yang mendukung. Kujelaskan pada mereka, bukankah kitab-kitab Hizbut Tahrir itu cocok dengan kitab-kitab yang selama ini kita pelajari di pesantren seperti Fathul Wahab, Fujurrami, Fujurrami Itsna, Sarwani, Muradhatut Thalibin.
Itu kan kitab-kitab yang tidak asing karena dikaji di pesantren. Itu yang saya ambil sebagai patokan. Ternyata semuanya malah sama."Jadi mengapa kita harus menolak ajakan Hizbut Tahrir?" ujarku pada mereka.
Yang menolakku itu setidaknya ada tiga tipe. Pertmaa, yang tidak percaya diri. Sebenarnya sebagian senang dengan ajakanku."Sebenarnya memang harusnya begitu. Ini memang harusnya diubah, hukum di kita ini harus diubah dengan Islam, ya tapi monggo woe, saya belum mampu," ujar mereka.
Kedua, mereka itu menjalankan agama bukan mengikuti manhaj agama, tapi yang diikuti itu adalah figur. Padahal saya sudah banyak memberikan dalil tentang bagaimana wajibnya khilafah kepada ustadz-ustadz, ajengan-ajengan itu. Mereka jawab, "Ya ini dalil tidak salah, cuma pemahaman Anda yang salah" Tapi ketika ditanya pemahaman yang benar terhadap dalil tersebut itu seperti apa, mereka tidak bisa jawab.
Bahkan ada yang berkata, "Ya pokoknya kita sudah punya guru lah” Tetapi ketika ditanya penjelasan gurunya seperti apa? Dia diam saja. Mungkin mereka anggap perjuangan khilafah ini perjuangan yang nyeleneh yang tidak pernah diperjuangkan oleh guru-guru mereka. Ini yang saya tangkap dari pemahaman mereka.
Yang ketiga, khawatir kehilangan jamaah. Saya katakan kembali kepada mereka jadi salah besar kalau sistem khilafah itu ide Hizbut Tahrir. Ini bukan ide Hizbut Tahrir tapi itu syariah Islam yang telah hilang kemudian dimunculkan kembali oleh Hizbut Tahrir. Jadi mestinya perjuangan khilafah itu harus diawali dari pesantren. Karena kitab-kitabnya itu banyak di pesantren itu. Nah itu yang menjadi keherananku, kenapa tidak muncul dari pesantren?
Mereka yang menolak ajakanku itu malah tidak datang lagi, aku pun tidak diundang lagi untuk acara-acara di pesantren mereka. Namun, saya tidak berputus asa. Saya tetap mengajak mereka dan umat untuk turut berjuang bersama Hizbut Tahrir. Allahu Akbar!
Oleh : joko prasetyo/seperti yang dituturkan KH Ali Bayanullah
Biodata Singkat Al Hafidz Pejuang Khilafah
Nama : KH Ali Bayanullah, Al Hafidz
Lahir : Sumedang, 1967
Pendidikan :
• 1975-1978 Madrasah Ibtidaiyyah, Sumedang, Jawa Barat
• 1978-1981 Madrasah Tsanawiyah, Surnedang, Jawa Barat
• 1981-1987 Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat
• 1987-1991 Pondok-Pesantren Al Anwar (KH Maimun Zubair), Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
• 1991-1993 Ponpes Tahfidz Alquran Darul Furqah; (KH Abdul Qadir Urnar Basyir), Janggalan, Kudus; Jawa Tengah
Jabatan : 1993-sekarang
Pimpinan Majelis Taklim wal Tahfidzil Quran Darul Bayan, Citeureup, Sumedang, Jawa Barat