Revrisond Baswir: Kemiskinan Nyata di Depan Mata Semua Orang Indonesia


JAKARTA, (Voa-Khilafah.co.cc) - Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir mengatakan, dibanding berkutat dengan bantuan sosial atau statistik jumlah orang miskin di Indonesia, pemerintah seharusnya menyelesaikan persoalan dengan lebih nyata.
 
Revrisond meminta pemerintah tidak memberikan solusi ad hoc macam bansos, tapi mengatasi inti persoalan kemiskinan.
 
Penjelasan angka-angka kemiskinan versi Asian Development Bank (ADB), World Bank, atau Badan Pusat Statistik (BPS) yang berbeda-beda berdasarkan garis kemiskinan versi masing-masing, menurut Revrisond, bisa menyesatkan.
 
Berapa pun angka yang disebutkan, ia melihat kemiskinan itu nyata di depan mata semua orang di Indonesia.
 
"Perhatian yang berlebihan pada angka-angka kemiskinan itu, versi yang manapun, justru menyesatkan. Apalagi kalau kemudian dikaitkan ke bantuan sosial. Itu tambah menyesatkan lagi. Kalau digunakan angka-angka itu, kesimpulannya cuma satu, Indonesia bangsa miskin. Dikaitkan dengan bansos ini sama sekali nggak menolong," tukas Revrisond, ketika berbincang via telepon dengan wartawan, Minggu (30/10).
 
Bansos, kata Revrisond, bukan jawaban atas persoalan kemiskinan yang dihadapi Indonesia.
"Karena kemiskinan bukan yang sifatnya insidental tapi struktural.
 
Solusinya bukan bansos, harus struktural juga," paparnya. "Kemiskinan struktural itu karena ada segelintir orang yang amat sangat kaya. Solusinya bukan bantuan sosial, tapi koreksi struktural. Jauh lebih penting bagaimana merancang sistem perekonomian, kebijakan negara agar versi manapun yang dipakai, jangan sampai kesenjangan kaya dan miskin semakin lebar."
 
Solusi struktural yang dimaksud, dicontohkan Revrisond, bisa diatur lewat kebijakan perpajakan. Revrisond mengusulkan agar batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) diatur supaya lebih pro-orang miskin. Sebaliknya, pada orang dengan pendapatan sangat tinggi,pajak dibuat lebih progresif dari sekarang.
 
Kebijakan perpajakan selain pajak pendapatan juga dapat diatur dengan lebih pro pemerataan. Misalnya peningkatan pajak kendaraan atau pajak bumi dan bangunan yang lebih progresif. Menurut hemat Revrisond, hal tersebut lebih penting dibanding bansos.
 
Revrisond mengkritik cara pemerintah mengatasi 31 juta penduduk miskin dengan cara memberi bansos.
 
"Definisi kemiskinan, definisi penerima bantuan, itu jadi proyek sendiri, tapi hasilnya nggak kelihatan," katanya.
 
Dana bansos lari ke berbagai pos. Laporan BPKP menunjukkan salah satu contoh merupakan penggunaan dana bansos 2010 di Nusa Tenggara Timur yang ternyata Rp 607,3 juta habis untuk menyewa pesawat, helikopter, dan dinas ke luar negeri.
 
"Kalau bantuan, ini bisa kembali ke pasal 34 UUD (1945) bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Ini bisa kita laksanakan dengan fokus bukan kemiskinan dengan artian umum, tapi fokus misalnya anak jalanan mau diapakan, gelandangan mau diapakan," saran Revrisond.
 
Dengan demikian, dana bansos dapat secara langsung terlihat telah sampai di tujuan dengan berkurangnya jumlah anak jalanan dan gelandangan di kota di seluruh Indonesia.
 
Seperti diketahui, data Perkumpulan Prakarsa menunjukkan jumlah orang miskin di Indonesia tahun lalu sebetulnya 43,1 juta, sementara data BPS 31 juta. Perbedaan tersebut terkait perbedaan garis kemiskinan. BPS mempergunakan garis kemiskinan dengan batas orang yang hidup dengan uang US$1,13 perhari, sementara data ADB menggunakan US$1,25 perhari. Menurut Perkumpulan Prakarsa, jika ukuran kemiskinan US$2 seperti banyak garis kemiskinan yang diberlakukan negara lain, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 117 juta orang. (Tg/Mi/rm/gm/voa-khilafah.co.cc)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers