Makassar tumpah darahnya, berilmu di tanah Makkah dan Madinah, Banten ladang jihadnya, terasing di Srilangka, terbuang hingga Afrika
Adalah Syekh Yusuf, putera asli Makassar, lahir di Kerajaan Gowa pada tahun 1626 M. Dari asal usulnya, beliau merupakan keturunan bangsawan di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa dan Bone.
Dari segi ketokohannya, ia bukan hanya ulama syariat, tapi juga sufi, pemimpin tarikat, pengarang, pejuang, dan musuh besar kompeni Belanda. Oleh pemerintah kompeni di Hindia Timur (Indonesia), Syekh Yusuf dianggap duri dalam daging, hingga ia diasingkan ke Ceylon (Srilangka), kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan dan wafat di pengasingannya, Cape Town, pada tahun 1699 M.
Pada zamannya (abad ke 17), Syekh Yusuf dikenal hingga empat negeri, yakni: Makkah, Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan. Beliaulah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Afrika Selatan dan Ceylon bahkan dianggap bapak bangsa rakyat Afrika Selatan, karena perjuangannya mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan warna kulit.
Bayangkan, sejak usia 18 tahun (abad ke 17) Syekh Yusuf telah mengembara selama 20 tahun untuk mencari ilmu dari Makassar ke Banten, Aceh, Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus, mendalami tasawuf dan mengajar di Masjidil Haram pada usia 38 tahun. Begitu besar motivasi belajar anak muda ini.
Selama pengembaraannya mencari ilmu, Syekh Yusuf mengantongi ijazah dari beberapa tarekat, seperti tarekat Naqsabandiyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, dan Qadariyah. Namun dalam pengajarannya, beliau tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri pada abad itu.
Menurut peneliti asal Belanda, B.F Matthes, Islam sudah hadir sebelum Syekh Yusuf terlahir. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dibawa oleh Datok ri Bandang (juga disebut Katte toenggalak), yang berasal dari kota tengah Minangkabau. Tidak lama sesudah Islam diterima di Sulawesi Selatan, lahirlah seorang bernama Sehe Yusoepoe atau Sjaich Josef Toeang Salama. Beliau dikenal sebagai wali dibawah pemerintahan Raja Gowa ke-19, Abdul Djalil Tuemenanga ri Lakiung.
Matthes mengungkapkan, selama Yusoepoe berdiam di Bantam (Jawa) sesudah kembali dari Makkah, ia mendapat kunjungan seorang wali dari Gowa bernama Toeang Rappang atau Abdoel Bashir Sehetta I Wodi. Toeang Rappang pernah bersama-sama dengan Yusoepoe di Makkah. Ia adalah seorang buta dan luas pengetahuannya, yang mendapat tugas oleh gurunya agar kembali ke Gowa untuk menyebarkan agama Islam. Tahun 1644, Syekh Yusuf pun meninggalkan tanah airnya dan bermaksud berziarah ke Makkah melalui Banten.
Pengembara Ilmu Sejati
Berdasarkan sumber buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Abu Hamid (Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin) berjudul:“Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang”, Syekh Yusuf meninggalkan negerinya Gowa menuju pusat Islam di Makkah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Dengan menumpang kapal melayu dari pelabuhan Somba Opu, ia berangkat untuk tujuan pertama, yakni ke Banten, sebagaimana jalur niaga pada masa itu di Laut Jawa. Nama Banten rupanya sudah sering didengar oleh Syekh Yusuf dari pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang Melayu
Kapal niaga Melayu berlabuh di beberapa daerah niaga sekitar Laut Jawa, sehingga perjalanan ke Banten ditempuh dalam waktu delapan hari. Di Banten, Syekh Yusuf cepat menyesuaikan diri dan berkenalan dengan ulama-ulama, ahli agama, dan pejabat-pejabat agama. Bahkan Yusuf sempat bersahabat baik dengan putra mahkota Pangeran Surya yang dikenal dengan Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa.
Merasa belum puas dengan pengajian-pengajian yang dipelajarinya di Banten, maka ia memutuskan untuk berangkat ke Aceh, tepatnya pada masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam dan menemui Syekh Nuruddin ar-Raniri.
Walaupun bukti-bukti dokumenter di Aceh atas kedatangan Syekh Nuruddin dalam periode ini tidak ada, namun dapat dilihat bahwa Syekh Yusuf pernah berguru pada Syekh Nuruddin dan menerima ijazah tarekat Qadariyah, seperti yang ditulis olehnya dalam risalah “Safinat an-Naja”
Setelah Syekh Yusuf menerima ijazah tarekat Qadariyah dari Syekh Nuruddin, ia berusaha ke negara Timur Tengah untuk menambah ilmunya dan menunaikan ibadah haji sebagaimana tujuan semula. Keseluruhan waktu yang digunakan oleh Syekh Yusuf selama di Banten dan Aceh kurang lebih lima tahun, sehingga diduga ia berangkat ke Timur Tengah pada tahun 1649. Menurut Buya Hamka, keberangkatannya ini bertolak dari Aceh dan bukan dari Banten.
Versi lain mengatakan, Syekh Yusuf berangkat dari pelabuhan Banten. Mengingat Banten merupakan pusat penyalur barang dagangan ke Eropa dan negara-negara lain, menggantikan posisi Malaka sesudah diruntuhkan oleh Kompeni Belanda tahun 1641.
Sumber-sumber lontarak menyebutkan bahwa perjalanan Syekh Yusuf dari Banten ke Saudi Arabia melalui Ceylon (Srilangka), memakan waktu 56 hari. Di Arab Saudi, Syekh Yusuf mula-mula mengunjungi negeri Yaman dan berguru dengan Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugrahi ijasah tarekat Naqsabandi.
Masih di negeri Yaman, Syekh Yusuf berguru dengan Syekh Maulana Sayed Ali. Dari gurunya ini, Syekh Yusuf menerima ijazah tarekat al-Baalawiyah. Setelah musim haji, ia ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madinah untut menuntut ilmu. Di Madinah, ia menjumpai Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani yang merupakan guru Syekh Abdurrauf Singkel. Dari syekh ini, ia diberi ijasah tarekat Syattariyah.
Belum puas juga dengan berbagai ijasah tarekat, Syekh Yusuf bertolak ke negeri Syam (Damaskus). Di Syam ia menemui Syekh Abu al Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi. Sang guru memberi ijasah tarekat Khalwatiyah, dan mengukuhkannya dengan gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Dalam Risalah Syekh Yusuf Safinat an-Naja, selain lima tarekat tadi, ia juga mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Hasytiyah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah dan lain-lain.
Syekh Yusuf kemudian membuka pengajian dalam Masjidil Haram. Ia dikenal sebagai Ulama Jawi dan beberapa jamaah haji dari Indonesia (Hindia Belanda) pernah berguru padanya. Melihat pelbagai jenis aliran tarekat yang pernah dipelajarinya, bukti Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, luas dan mendalam. Betapa tidak, ia jelajahi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tasawuf, di Timur Tengah sekitar 15 tahun, berkenalan dengan berguru pada syekh termasyhur di zamannya.
Sekembalinya dari Makkah, Syekh Yusuf berdiam diri di Banten dan menikah dengan seorang bangsawan puteri Sultan Banten Tirtayasa. Selama berada di Banten sekitar 20 tahun, Syekh Yusuf diangkat sebagai mufti kerajaan, guru bagi Sultan dan keluarganya, serta syeikh tarikat bagi penduduk. Ia mengajar selama 18 tahun.
Perang Gerilya
Ketika terjadi pertempuran antara Kerajaan Banten dengan kompeni Belanda, Syekh Yusuf berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam peperangan itu, kompeni dibantu oleh Sultan Haji. Saat Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap Belanda, Syekh Yusuf menggantikannya, ia memimpin pasukan dengan gagah berani, bergerilya melawan kompeni di hutan rimba Jawa Barat hampir dua tahun lamanya.
Perlawanan Syekh Yusuf bersama Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan kompeni, diuraikan F. de Haan dalam bukunya“Priangan Jilid III”, menceritakan tentang pengepungan dan pengejaran laskar-laskar Banten, termasuk Syekh Yusuf saat melakukan taktik perang gerilya. Disebutkan bahwa pada bulan Januari 1683, Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Kidul mengadakan perang gerilya di daerah Tangerang. Dari Tangerang kemudian ke Cimuncang, lalu ke Jasinga dan terus menyusuri Sungai Cidurian.
Kompeni memerintahkan Van Happel untuk mengejar gerilyawan itu. Dari daerah Jasinga, Syekh Yusuf menuju ke arah timur, tepatnya Jakarta Selatan untuk tujuan ke Cirebon. Pada tanggal 11 Februari 1683, Syekh Yusuf bersama Pangeran Kidul dan pasukannya menuju Cikaniki, hingga tak terkejar oleh kompeni karena rintangan alam. Dari daerah Cikaniki, Syekh Yusuf menuju Cianten lewat Cisarua dengan membawa pasukan kurang lebih 5.000 orang, termasuk 1.000 orang Makassar, Bugis dan Melayu.
Pada tanggal 25 September 1683 di Padaherang, istri serta puteri Syekh Yusuf ditangkap kompeni, sedangkan Pangeran Kidul beserta pembesar Banten lainnya gugur di medan peperangan. Menyusul putrinya yang bernama Asma ditangkap. Akhirnya pada tanggal 14 Desember, setelah Syekh Yusuf membuat pertahanan di daerah Mandala, Van Happel dengan berpakaian Islam menggunakan putri Syekh Yusuf yang dijadikan tawanan sebagai siasat.
Atas desakan Van Happel, putrinya diminta untuk membujuk Syekh Yusuf agar keluar dari persembunyiannya. Alhasil, Syeikh Yusuf menebus putrinya dengan menunjukkan batang hidungnya. Saat itu pula Van Happel menangkap Syekh Yusuf untuk segera dibawa ke Cirebon, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Betawi (Jakarta). Sementara itu pasukannya yang terdiri dari orang-orang Makassar dan Bugis dikembalikan ke Sulawesi.
Pada tanggal 12 September 1684, Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon. Selama pengasingannya di Ceylon, ia isi waktunya dengan menulis karangan-karangannya yang dikirim melalui jamaah haji ke Indonesia. Ia juga mengajar tarekat Khalwatiyah. Kini, murid-muridnya tersebar mulai dari Banten, Sulawesi Selatan, Caylon, hingga Cape Town. Tak banyak riwayat hidup Syekh Yusuf yang terungkap ketika berada di Ceylon.
Dari pembuangannya di Ceylon kemudian dipindahkan ke Cape Town pada 7 Juli 1694 bersama 49 orang pengikutnya. Di sana pula, Syekh Yusuf menghabiskan waktunya dengan menulis. Karangan-karangannya di Afrika Selatan sampai sekarang belum ditemukan.
Riwayat hidup Syekh Yusuf di Cape Town (Afrika Selatan) mulai diceritakan oleh I.D du Plessis dalam bukunya “Die Bydrae van die Kaapse Maleier tot die Afrikaanse Volkslied” tahun 1935. dikatakan bahwa Syekh Yusuf adalah peletak dasar dari keberadaan Islam di Afrika Selatan. Syekh Yusuf wafat tahun 1699, sedangkan pengikut-pengikutnya masih tetap tinggal di Cape sampai tahun 1704. Sesudah tahun ini, diaturlah pengiriman kembali keluarganya ke Makassar, kecuali seorang anggota yang sudah menikah diizinkan tetap tinggal.
Sejak pengasingannya dipindahkan dari Ceylon ke Afrika Selatan, ketika itu pula penguasa kompeni Belanda berusaha mengikis habis pengaruh Syekh Yusuf di Makassar dan Banten. Berbagai cara dilakukan untuk memalingkan perhatian rakyat, terutama bekas anak buahnya di Priangan dan yang dikembalikan ke Sulawesi setelah Syekh Yusuf ditangkap.
Ketika murid-murid tarekat Yusuf amat menghormati murabbi-nya itu, penguasa kompeni mulai melancarkan siasahnya dengan mengaburkan ide perjuangan Syekh Yusuf, bahkan namanya diedarkan di kalangan rakyat dengan segala macam cerita kegaiban, dibungkus dengan berbagai paham-paham mistis, seolah-olah kegigihan Syekh Yusuf melawan kompeni tak pernah ada. Belanda menggunakan taktik untuk menekan pergolakan dan permusuhan terhadap kompeni atas pengaruh sebuah nama.
Usaha ini untuk beberapa waktu memang berhasil, dengan terciptanya hegemoni di darat dan lautan. Namun, kemasyhuran seorang Syekh Yusuf telah melampai batas benua. Sehingga kebesaran Syekh Yusuf, tak lagi menjadi milik bangsa Indonesia, atau sekadar pahlawan nasional, tapi sudah mendunia. Sampai-sampai makamnya berada di dua tempat, yakni di Afrika Selatan dan di Lakiung (Gowa), selalu ramai diziarahi. Syekh Yusuf yang masyhur sampai ke empat negeri, membuat ia dikenal oleh para peneliti dengan nama lengkap Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Maqassariy al-Bantaniy.
Berkembang Mitos
Syekh Yusuf wafat 23 Mei 1699 wafat didesa Maccasar, 40 km dari Cape Town dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan dibukit desa yang terletak di Teluk False. Karena desakan keluarga, maka 6 tahun kemudian VOC membawa keranda beliau menyeberangi samudera lalu dimakamkan di kampung halamannya di Lakiung. Ketika itu keranda Syekh Yusuf dibawa bersama oleh keluarganya dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dari Kaap (Cape) ke Makassar.
Setelah disemayamkan di Istana Raja Gowa selama sehari semalam untuk memberi kesempatan kepada sanak keluarganya mengucapkan doa perpisahan terakhir, keesokan harinya, Syekh Yusuf dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa, 6 April 1705 dengan upacara kebesaran kaum bangsawan.
Sayang, Syekh Yusuf yang dikenal sebagai ilmuwan, pengarang dan pahlawan pertempuran melawan kolonialisme pada abad ke-17 ini, kuburannya jadi tempat bernazar serta berdoa memohon murah rezeki, enteng jodoh, pangkat, kesehatan, dan panjang umur. Masyarakat setempat menyebutnya makam Tuanta Salamuka. Ada pula yang menyebutnya Tuan Karamat. Setelah dibangun kubah, masyarakat menyebutnya Kobangga.
Kisah-kisah yang beredar di daerah asal mengenai pejuang besar ini, banyak diwarnai aroma mitos, mistis, legenda dan a-historis. Bahkan di Cape Town sendiri, bermacam-macam dongeng bisa didengar seputar hal-hal yang tidak rasional. Oleh pembawa kisah, Syekh Yusuf digambarkan sebagai sosok yang memiliki kesaktian mampu terbang melayang dan berjalan di atas lautan.
Pemerintah kolonial sepertinya sengaja membesar-besarkan berbagai dongeng tanpa dasar tarikh. Syekh Yusuf diredusir kebesaran pribadinya yang sejati, kedalaman ilmunya sebagai ulama dan kepemimpinan anti-kolonialnya yang gagah berani, diperkecil sehingga cukuplah semata-mata menjadi tokoh keramat yang kabur sosok teladannya. Padahal seorang Nelson Mandela pernah menyebut tokoh besar ini sebagai putera Afrika, pejuang teladan.
Selama di Banten dan pembuangan di Ceylon (1684-1693), Syekh Yusuf telah mewarisi risalah sebanyak 29 judul. Kebanyakan karya yang ditulisnya adalah ilmu tasawuf dan tarekat. Namun, sayang, tidak banyak orang yang membacanya. Bahkan ironinya, naskah-naskah itu terlantar 300 tahun lamanya, bisa dikatakan belum diterjemahkan dan belum dibaca oleh bangsanya sendiri. (Desastian/voa-islam/voa-khilafah.co.cc)